Kisah Ramang : Pemeran Utama Mitos 1958

Andi Ramang

Pernah dengar nama Ramang ? atau pernah tahu PSM Makassar yang dijuluki Pasukan Ramang ? Julukan Pasukan Ramang diambil dari seorang legenda besar sepak bola nasional yang sangat dekat hubungannya dengan PSM Makassar, dialah Andi Ramang. Pemain kelahiran Sulawesi Selatan 24 April 1924. Jika suatu hari anda main-main ke Makassar dan sempat mengunjungi lapangan Karebosi, anda akan melihat sebuah patung replika seseorang yang menendang bola persis didepan pintu masuknya, ya patung itu adalah patung Andi Ramang.

Ini seperti janji saya beberapa waktu lalu saat mangangkat cerita tentang kiper legendaris dunia Lev Yashin untuk menulis juga beberapa sosok pemain diluar posisi kiper yang sudah 2 kali saya angkat. Selama ini saya baru 2 kali mengangkat cerita individu pemain dan keduanya adalah kiper, nah sekarang-lah saatnya untuk mengangkat satu sosok diluar kiper dan enaknya juga menampilkan sosok dari bumi pertiwi sebagai pembukanya. Alasannya apalagi kalau bukan agar beda dari situs-situs yang lain serta ada tantangan yang lebih sulit untuk mencari dat-data akurat pemain lokal ketimbang legenda-legenda top luar negeri.

Siapa Ramang

Nama panjangnya Andi Ramang, lahir di Sulawesi Selatan sana tanggal 24 April 1924, selama menjalani karir sepak bolanya, Ramang dikenal sebagai striker jempolan Indonesia dekade 40-an akhir sampai 60-an akhir. Orang ini terkenal mempunyai tendangan yang sangat keras, kaki kanan dan kirinya hidup, dan memiliki kecepatan diatas rata-rata, sesuatu yang luar biasa untuk pemain bola yang berasal dari negeri yang baru saja mengecap kemerdekaan.

Karir profesional (boleh dibilang semi-pro) Ramang diawali di PSM Makassar pada tahun 1947 yang waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Pertemuan PSM dengan Ramang terjadi ketika sang pemain ikut tergabung dalam sebuah tim yang bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) dalam kompetisi internal PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM Makassar.

Bakat Ramang memang menurun dari sang ayah. Ayahnya, Nyo’lo adalah seorang ajudan atau abdi dalem Raja Gowa Djondjong Karaenta Lembangparang, sang ayah sudah lama dikenal sebagai jagoan sepakraga. Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Dari sinilah secara tidak langsung Ramang telah memiliki dasar-dasar dalam bermain sepak bola.

Sambil melakoni profesinya sebagai pemain sepak bola, Ramang juga menjadi seorang kenek truk dan tukang becak. Dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo (7/10/1978), Ramang mengatakan bahwa ia terpaksa meninggalkan profesinya sebagai penarik becak karena sibuk dan lebih mencintai bermain sepak bola. Keputusannya itu membuat kondisi keluarganya yang tinggal menumpang di sebuah rumah temannya menjadi semakin memprihatinkan. “Apapun yang terjadi, coba kalau isteri saya tidak teguh iman, mungkin dia bisa sinting,” kata sang macan bola. Ramang memang tak bisa lepas dari lapangan sepak bola. Baginya, meninggalkan lapangan sepak bola sama saja menaruh ikan di daratan. “Hanya bisa menggelepar-gelepar lalu mati,” ucapnya.

Skuad Juara PSM 1957

Sejak bergabung bersama PSM, Ramang sudah keliling Indonesia bermain bola. Tapi ketika ia kembali ke Makassar seorang datang kepadanya untuk melamarnya bekerja sebagai opas di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Ramang pun menerima pinangan tersebut, secara gaji, ia tak pernah mendapatkannya diatas Rp 3.500. Alasan sang macan bola mau menerimanya hanya satu: ia masih tetap bisa main bola.

Karir Ramang

Secara umum, diluar kebersamaannya yang singkat bersama Persis, Ramang menghabiskan seluruh karirnya bersama satu tim, tidak lain PSM Makassar. Terbagi dalam 2 periode, yang pertama dimulai dari debutnya untuk tim Juku Eja dari tahun  1947–1960, dan gelombang kedua dilakoninya dari tahun 1962-1968. Dalam kebersamaannya bersama PSM, Ramang mampu mempersembahkan 2 kali gelar juara perserikatan kepada tim kebanggan kota Makassar antara tahun 1957 (Jakarta) dan 1959 (Padang).

Sayangnya saya tidak menemukan statistik gol ataupun raihan individu Ramang lainnya. Hal ini wajar mengingat pada era-nya dulu pencatan statistik apapun tidak pernah dilakukan pihak PSSI secara umum apalagi klub.

Kehebatan Ramang begitu dikenal masyarakat tanah air sampai dunia terjadi apalagi kalau bukan torehannya saat membela merah putih. Ada namanya dalam skuad Timnas yang paling sering dikenang sepanjang masa di negara kita. Apalagi kalau bukan folklore menahan imbang tanpa gol Uni Soviet tahun 1958 lalu.

Debutnya dengan tim nasional dimulai ketika ia dipilih masuk pelatnas Jakarta pada tahun 1952 menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arlan duet sejatinya di lini depan Timnas. Permainannya sebagai penyerang tengah dalam formasi WM Pogacnik sangat mengagumkan. Setahun kemudian ia keliling di beberapa negeri asing, namanya pun meroket menjadi pemain favorit penonton dan juga disegani pemain lawan. Loncatan terbesar Ramang hingga begitu dipuja dan membantu Indonesia dinobatkan sebagai macan Asia ditorehkan ketika lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia. PSSI hampir menyapu bersih semua laga yang dilalui dengan jumlah gol yang cukup mencolok. Dari 25 gol (hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang. Luar biasa !

Mendengar kehebatan sebuah timnas negara yang baru merdeka dan terletak jauh di belahan bumi timur, Indonesia memiliki daya tawar yang baik untuk dijajal tim dari Eropa. Satu demi satu kesebelasan benua biru mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan kaki emas Raymond Kopa, Rusia dengan the black panther-nya Lev Yashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein. “Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan kawan-kawan,” ujar Ramang merendah, sembari menyebut nama temannya satu per satu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sian Liong dan Djamiat.

Ketika Indonesia mengalahkan China

Kemampuan terbesar Ramang adalah teknik tendangannya yang keras dan akurat serta kecepatannya yang luar biasa. Ramang mampu melepaskan tendangan akurat dalam keadaan sesulit apapun sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang diidamkan oleh setiap striker. Ada satu lagi keahlian Ramang yang sampai saat ini pun sulit ditandingi pemain sepak bola nasional manapun, tendangan salto. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai bekas pemain sepakraga yang ulung. Salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah saat Indonesia berhasil mengalahkan RRC (China) dalam kualifikasi Piala Dunia Swedia 1958 dengan skor 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Mendengar kehebatan Ramang, tak heran jika pada tahun 50-an banyak orang tua yang menamai nama anak laki-lakinya dengan nama Ramang.

Ketika FIFA Mengenang kehebatan Ramang

Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA), melalui sebuah artikel diunggah dalam situs resminya (www.fifa.com), mengenang kehebatan Ramang, mantan bintang tim nasional Indonesia, tepat pada tahun peringatan ke-25 kematiannya, Rabu (26/09/2012). Ramang, yang meninggal pada 26 September 1987, disebut seperti tertulis dalam judul artikel FIFA tadi sebagai “Orang Indonesia yang Menginspirasi Puncak Sukses Tahun 1950-an (Indonesian who inspired ’50s meridian)”.

Kehebatan Ramang yang dikenang dan dikupas panjang lebar di situs FIFA secara garis besar terpusat saat pemain asal Makassar tersebut memperkuat Indonesia di Olimpiade Melbourne 1956. Ajang itu dianggap puncak sukses timnas Indonesia di level internasional, setelah menjadi negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia pada 1938 di Perancis. Jika penampilan di Piala Dunia 1938 Indonesia masih bernama “Dutch East Indies” dan belum berbendera Merah Putih karena masih dalam status jajahan Belanda, beda halnya dengan penampilan timnas di Olimpiade Melbourne 1956, Indonesia sudah tampil sebagai negara merdeka.

Selain itu, Indonesia lolos ke Piala Dunia 1938, setelah Jepang dan kemudian Amerika Serikat enggan bertanding melawan kita dalam babak play-off. Indonesia hanya sekali berlaga dan menjadi satu-satunya tim yang tampil di Piala Dunia hanya sekali saja dan langsung tersingkir setelah dipukul Hungaria 0-6. Adapun saat tampil di Olimpiade Melbourne 1956, Indonesia sempat menahan imbang Uni Soviet yang selanjutnya menjuarai turnamen dengan skor 0-0, sebelum akhirnya Indonesia menyerah 0-4 pada partai ulangan.

Tim Merah Putih tampil di Olimpiade 1956 setelah Taiwan, calon lawan di babak kualifikasi, dianggap mengundurkan diri, karena terlambat menyerahkan daftar pemainnya. Bersama India, Bulgaria, Yugoslavia, dan Amerika Serikat, tim Merah Putih mendapat bye dan langsung lolos ke perempat final dengan lawan Uni Soviet. Dalam laga melawan Uni Soviet itulah, konteks cerita kehebatan Ramang dikenang lewat artikel situs resmi FIFA tersebut.

“Bek-bek uni Soviet yang bertubuh raksasa langsung terbangun saat Ramang, penyerang lubang bertubuh kecil, melewati dua dari mereka dan memaksa (kiper Lev) Yashin melakukan penyelamatan dengan tepisan,” tulis FIFA dalam artikelnya.  “Dan meski tim Gavril Kachalin memegang kendali penguasaan bola setelahnya, mereka dibuat frustrasi oleh kegagalan mereka menjebol gawang tim underdog dan oleh skill Ramang dalam serangan balik”. “Pemain berusia 32 tahun (Ramang) hampir saja membuat Indonesia unggul, yang bakal menjadi puncak kejutan, pada menit ke-84 andai saja tendangannya tidak ditahan pria yang dikenal luas sebagai kiper terhebat dalam sejarah sepak bola (Lev Yashin)” lanjut FIFA.

Salah Satu Aksi Ramang vs Uni Soviet

“Jika Uni Soviet tahu siapa Ramang sebelum laga tersebut, mereka tentu saja memberi perhatian lebih padanya menjelang laga ulangan”. “Begitu besar perhatian mereka kepada Ramang, pada laga ulangan Kachalin memerintahkan (Igor) Netto, playmaker tim Uni Soviet, agar tampil dengan peran lebih defensif untuk menetralisir dampak pemain Indonesia bernomor 11 (Ramang). Taktik itu ada hasilnya. Uni Soviet menang 4-0.”

Penampilan epik Indonesia dalam laga pertama tersebut, dinyatakan oleh FIFA sebagai “salah satu hasil-hasil paling mengejutkan dalam sejarah Olimpiade”, tercipta berkat Ramang. Seperti ditulis FIFA, Ramang rutin mencetak gol sejak menjalani debut timnas pada 1952. Ia mengemas 19 gol hanya dari enam laga, termasuk dua gol terkenalnya dengan gerakan salto dalam lawatan ke Timur Jauh, setahun kemudian, ketika Indonesia hanya kalah dari Korea Selatan.

Ramang juga menceploskan gol, saat Indonesia menyingkirkan China pada kualifikasi Piala Dunia 1958 Swedia. Indonesia mundur dari laga berikutnya setelah menolak bertanding melawan Israel dengan alasan politik. Sebelum ajang tersebut, Indonesia menghajar India 4-1 dan tampil sebagai peringkat ketiga Asian Games 1958. Di Turnamen Merdeka Games 1960, setelah kalah dari Korea Selatan pada laga pembuka, dengan inspirasi Ramang, Indonesia mengoleksi 20 gol dalam empat kemenangan beruntun, dan tampil sebagai pemenang ketiga.

Tahun 1959, Jerman Timur datang ke Jakarta untuk laga persahabatan. Banyak orang menyangka, mereka bakal menang mudah atas Indonesia. Namun, pada laga itu Ramang memecah kebuntuan, lewat gocekan mautnya dan berbuah gol kedua Endang Witarsa, hingga laga melawan Jerman Timur berakhir dengan skor 2-2.

“Itu salah satu peristiwa tak terhitung yang membuat suporter Indonesia dan PSM Makassar, klub tempat Ramang menghabiskan sebagian besar kariernya, tergetar oleh seorang laki-laki yang terpaksa bekerja dengan upah rendah dan hidup sangat miskin, hanya untuk memperturutkan kecintaannya pada olahraga yang digemarinya,” tulis FIFA.

Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah media ia menyebut ketika PSSI menahan imbang Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. “Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi baju saya ditarik dari belakang,” kata Ramang. Kalau saya tidak salah ukur, kekuatan Uni Soviet kala itu mungkin setara dengan kekuatan timnas Spanyol 8 tahun belakangan. Sebuah cerita rakyat yang masih lestari sampai sekarang.

“Dan ketika pesepak bola Indonesia yang secara diperdebatkan paling hebat itu meninggal 25 tahun lalu, Rabu ini, legenda Ramang akan terus diceritakan,” demikian kalimat penutup artikel FIFA tersebut.

Akhir Karir dan Kepelatihan

Kejayaan Ramang sebenarnya berjalan cukup singkat, tepatnya pada tahun 1960, namanya yang telah melangit harus jatuh dengan sangat telak. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan kasus suap “Skandal Senayan 1962” yang ikut menyeret namanya. Sebuah kejadian memilukan dan tamparan keras bagi Indonesia yang ketika itu berhasil meraih predikat macan Asia. Sebelumnya saya sudah mengangkat kisahnya secara singkat disini. 18 pemain dinyatakan bersalah termasuk Ramang diantaranya. Sanksi-nya tidak main-main, larangan membela timnas seumur hidup. Suatu saat nanti mungkin saya bisa menceritakan kisah ini dengan lebih detail karena merasa mungkin kasus inilah sebagai katalisator kemunduran sepak bola nasional yang sudah mengecap julukan Macan Asia sebelumnya. Entah-lah ini hukuman dari Tuhan karena kita yang tidak bisa bersyukur atas status tadi hingga kita tidak bisa bangkit lagi sampai saat ini.

Tahun 1962 Ramang sebenarnya sempat dipanggil kembali oleh PSM Makassar dan kembali mengabdi disana selama 6 tahun dan memutuskan pensiun. Pada tahun 1968, dalam usia 40 tahun, Ramang bermain untuk terakhir kalinya membela kesebelasan PSM di Medan yang berakhir dengan kekalahan.

Karier kepelatihan Ramang tercatat di PSM dan Persipal Palu. Sewaktu menjadi pelatih di Persipal, ia bahkan pernah dihadiahi satu hektar kebun cengkeh oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di Indonesia. Tetapi menjadi pelatih sepak bola ternyata tidak mudah bagi seorang tamatan Sekolah Rakyat seperti Ramang. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya karena ia tidak memiliki lisensi kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari mantan pelatih legendaris PSSI, Tony Pogacnik yang ia sangat hormati.

Penutup

Menceritakan kisah Ramang seperti menceritakan cerita rakyat terkenal tentang buah simalakama. Di satu sisi dengan Ramang-lah Indonesia berhasil menggapai capaian tertinggi dalam sejarah persepak bolaan nasional (perunggu Asian Games) tapi di sisi lainnya ada kasus suap paling menggemparkan sepanjang sejarah sepak bola nasional yang melibatkan namanya.

Saya memandang kisah Ramang ini dengan pandangan yang sangat menarik untuk alasan yang saya sebutkan barusan. Untuk itulah saya jatuhkan pilihan kepada Ramang untuk mengangkat kisahnya ketimbang sosok legenda luar negeri.

Apapun alasannya, menerima suap adalah mutlak sebuah dosa yang sangat besar dalam sepak bola. Apalagi terjadi ketika mengusung panji-panji merah putih. Tidak ada pilihan lain selain sanksi seumur hidup yang lebih pantas untuk mengganjarnya. Siapapun dia dan sehebat apapun dia. Tapi terdengar logis mendengar alasan kenapa sang pemain tega menghianati bangsanya sendiri.

Ramang pernah menyebut bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih berharga dari kuda pacuan. “Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi,” katanya dengan kecewa. Namun Ramang sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya itu. “Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?” katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga ia seringkali sengaja sembunyi hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan.

Patung Ramang

Salah seorang pemain mengaku alasan mereka mau menerima suap adalah karena tidak cukupnya insentif yang diberikan PSSI untuk kebutuhan sehari-hari pemain. Ketika itu PSSI memberikan Rp 25,- per hari bagi setiap pemain itupun hanya saat mereka dipanggil membela negara. Namun dengan ‘bermain’ bersama bandar judi (penyuap), pemain menerima uang Rp 25.000 hanya untuk satu pertandingan saja. Perbandingan 1000 kali lipat yang membuat siapapun mengelus dada sambil berkata “pantas saja”.

Well, semoga bermanfaat.

Silahkan jika teman-teman berkenan untuk melakukan analisa sesuai topik ini di form komentar. Terima kasih sudah mampir untuk membaca.

Salam virfast.net

Referensi : kompas bola, wikipedia, kompasiana


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *