
Diskusi ini akan memerlukan waktu yang lama dan bahasan yang panjang karena masalah timnas kita sudah kusut bertahun-tahun lamanya serta alasannya yang banyak dan saling terkait satu sama lain. Tidak akan ada habisnya karena begitu peliknya masalah ini. Wajar jika kita bertanya-tanya 200.000.000 ++ penduduk Indonesia dan hampir semuanya menyukai sepak bola, apakah tidak bisa menemukan 22 bakat terbaik untuk dikumpulkan menjadi timnas sepak bola ?. Jika stakeholder-stakeholder sepak bola tanah air mengatakan ini tidak ada hubungannya dengan masalah jumlah penduduk, itu artinya mereka tidak cocok duduk di kepengurusan sepak bola. Jumlah penduduk pasti berkaitan dengannya. Jika mereka membandingkan dengan Cina, India, dan AS yang jumlah penduduknya besar tapi tim sepak bolanya tidak kuat juga, itu salah besar. Kenapa ? karena penduduk India lebih menyukai cricket daripada sepak bola. Jadi perhatian mereka kesana. Terbukti tim cricket India salah satu yang terbaik di dunia. Cina juga demikian, sepak bola memang populer, tapi tidak terlalu dominan, saingan olahraga populernya banyak. Sebagai bukti, di ajang Olimpiade dunia, Cina paling jelek berada di posisi 2. Apalagi jika membicarakan sepak bola di AS. Di negeri Paman Sam ini, sepak bola adalah olah raga terpopuler nomor sekian. Diatasnya ada Basket, Baseball dan Football America. Wajar jika negara-negara tadi tidak terlalu kuat tim sepak bolanya karena sepak bola disana bukanlah olah raga yang membuat penduduknya gila. Berbeda jika kita bicara negara kita tercinta ini. Sudahlah, tidak usah dibicarakan bagaimana gilanya pecinta bola tanah air. Ironis memang, tapi itulah fakta yang harus kita carikan jalan keluar.
Harapan itu ada sebenarnya. Karena semua orang tahu bakat-bakat muda Indonesia adalah bakat-bakat yang hebat. kita semua tahu prestasi bocah-bocah kita cenderung baik dan bisa berbicara banyak di pentas Internasional namun berbeda jika sudah menampaki kelas senior. Contoh yang paling populer tentu ajang Danone Nation Cup ajang yang dirintis oleh sebuah perusahaan raksasa asal Prancis yang kini sudah diakui FIFA sebagai ajang sepak bola dunia usia dini. Sejak 2002 ikut serta, Indonesia adalah tim tangguh, wakil Indonesia di ajang DNC ini bisa kita umpamakan dengan Portugal di piala dunia senior, tim yang sangat kuat dan disegani namun belum pernah juara. Pada tahun 2005, tim Indonesia terpilih sebagai The Best Attack Team dan The Best Player, hal ini telah menjadi sejarah bagi prestasi anak-anak Indonesia dan Danone Nations Cup itu sendiri. Bahkan, tim sepakbola anak Indonesia ini dengan bangga berhasil lolos hingga babak semifinal pada tahun 2006 dan mengunci posisi keenam terbaik pada tahun 2009. Pada tahun 2010, Indonesia menduduki posisi kelima belas. Kemudian pada DNC 2012 lalu, Indonesia yang diwakili oleh SSB Putra Muara Cunda Aceh meraih posisi 23 besar setelah mengalahkan Tunisia 2-1.
Itu baru untuk Danone Nations Cup, ada lagi Gothia Cup yang terakhir ini pada tahun 2013 diadakan di Gothenberg, Swedia. Wakil Indonesia berhasil menjadi runner-up! Kompetisi itu mempertandingankan berbagai macam tingkat usia dan kita sukses menjadi runner-up di kategori usia U-14. Mereka hanya kalah oleh tim asal Slovenia. Indonesia mengirimkan 6 tim di tingkatnya masing-masing, dan selain U-14, tim Indonesia U-16 juga berhasil tampil baik dengan menembus babak 8 besar atau perempat final. Ada lagi yang saya ingat dari tim muda kita menjadi juara saat tampil di turnamen yang saya lupa namanya namun diadakan oleh akademi AC Milan. Jika kalian punya data lagi tentang itu, saya minta tolong untuk ditambahkan. Saya yakin sebenarnya prestasi usia bocah kita itu bisa lebih baik lagi. Karena hampir semua prestasi itu diraih oleh SSB (Sekolah Sepak Bola)bukan timnas usia muda. Dengan modal bakat-bakat SSB yang terbatas saja bisa seperti itu, apalagi jika semua bakat terbaik dari semua SSB itu dikumpulkan jadi satu dibawah bendera timnas.
[slideshow_deploy id=’333′]
Berikut kami temukan beberapa foto saat bakat-bakat muda Indonesia berkompetisi di ajang Internasional
Data-data ini seakan membuat kita bertanya-tanya, saat tim bocah kita sangat kuat kenapa giliran di tingkat U-21 sampai senior kita melempem ? kemana bakat bakat terbaik yang mengangkat nama negara kita saat masih bocah itu ?. Contohnya anak-anak muda yang berhasil tampil hebat di Danone Nations Cup tahun 2005, jika sekarang tahun 2013 dan usia mereka saat 2005 berkisar 10-12 tahun, itu berarti usia mereka saat ini berkisar antara 18-20 tahun. Usia itu seharusnya anak-anak itu sudah tumbuh dewasa dan siap paling tidak untuk menghiasi liga lokal atau masuk timnas U-21. Benar kan ? tapi sekali lagi kemana mereka ?. Saya punya cerita yang ironis lagi, apakah ada yang tahu tentang Piala Soeratin atau Liga Bogasari ? kompetisi itu menghasilkan para juara dan pemain terbaik, tapi jarang sekali bakat terbaiknya mentas menjadi pemain professional. Contoh saya punya data disini, pada tahun 2002 juara U-15 Liga Bogasari adalah tim Jateng, dan pemain terbaiknya adalah pemain dari Papua, Tennis Serenay, top skornya bernama Andri Setiawan dari Kalsel. Usia mereka saat 2002 munkin berkisar 15 tahun kebawah, kira-kira usia mereka di tahun 2013 ini adalah 26 tahun kebawah. Itu adalah usia puncak bagi seorang pemain. Tapi apakah ada yang tahu nama mereka saat ini ? bukankah itu pantas dipertanyakan ? apalagi Piala Soeratin ini kompetisi lokal dan produk PSSI sendiri.
Pasti ada yang salah jika melihat data-data yang saya tulis dari berbagai sumber itu. Menurut rekan-rekan sekalian apa yang salah ? pembinaan usia muda yang amburadul kah ? masih penuhnya praktik politik dan non-sportif yang menjangkiti pemain, pelatih, official dan PSSI sendiri ? belum professionalnya klub ? atau malah mental pemain Indonesia itu sendiri yang bermasalah ? lebih jauh lagi salah pemerintah kah ? atau memang takdir kita di sepak bola memang diputuskan buruk oleh Tuhan ?. Saya setuju dengan semua pendapat itu kecuali yang terakhir dan kesemuanya saling terkait satu sama lain. Ini terangkum semuanya dalam kesalahan sistem sepak bola negara kita. Pertanyaan-pertanyaan diatas yang akan menjadi bahan diskusi kita hari ini.
1. Pembinaan Pemain Muda yang Amburadul
Sudah sangat amat pasti kesalahan ini adalah yang valid dan sudah mendarah daging. Contoh diatas adalah buktinya. Apakah ada kompetisi di Indonesia dibawah naungan PSSI yang fokus pada pembinaan usia mudanya dan dilakukan secara konsisten ?. Apakah hanya mengandalkan PON ? PON itu diadakan 4 tahun sekali mas bro, itu juga kompetisi antar daerah dan bukan milik PSSI, pesertanya juga bukan klub yang menjadi sandaran timnas. Setelah PON selesai, ya sudah bubar deh karena memang tim sepak bolanya bukan disiapkan untuk jangka panjang.
Contohlah seperti Primavera di Itali atau Tim Satelit di Spanyol dan liga-liga junior di negara-negara maju sepak bola. Dengan adanya sepak bola khusus junior, bakat-bakat muda akan terus terpantau, bisa tetap berlatih meningkatkan kemampuan dengan latihan serta kompetisi yang ketat. Step-stepnya bagaimana cara menjadi pemain professional juga jelas karena terarah dan terpantau tadi. Jika mereka mempunyai kemapuan, mereka akan dipromosikan atau bisa jadi diikat kontrak oleh tim lain, jika tidak mereka bisa tetap belajar atau memilih beralih profesi. Jadi jelas langkah-langkahnya, tidak njelimet.
Keuntungan lainnya juga banyak. Jikalau tim-tim liga lokal menelurkan pemain hebat dan telaten mengurusnya, mereka bisa menghemat miliaran rupiah karena tidak perlu mengontrak mahal-mahal pemain top karena sudah bisa menghasilkan pemain bintang mereka sendiri. Manfaatnya tidak akan ada klub-klub Indonesia yang seringkali mengalami kesulitan keuangan karena besarnya kontrak pemain namun dana menyusu pada APBD yang terbatas. Bagaimana bisa maju sepak bola kita jika kompetisinya amburadul karena banyak timnya yang tidak bisa bertanding dengan alasan tidak ada dana. Yang terdekat kita bisa mencontoh Persipura. Persipura berprestasi secara konsisten di liga lokal dengan materi mayoritas putra daerah yang terus beregenerisasi. Meskipun belum juga bisa bicara banyak di kompetisi Internasional tapi itu sudah sangat bagus melihat mereka mendidik pemain mudanya ditengah kompetisi junior yang tidak karuan. Tidak pernah kan kita dengar Persipura mengalami masalah finansial ?. Jika ada yang mengatakan, aahh Papua memang dianugrahi bakat-bakat alami yang memang sudah bagus, itu naif. Apakah Persipura rutin menjadi peraih emas PON ? tidak juga kan. Itu berarti bakat-bakat alami tidak hanya dimiliki putra-putra Papua. Hanya masalahnya ya itu tadi, kompetisi muda yang berkesinambungan. Lha, bagaimana kita mau menyalahkan jika bakat-bakat muda terbaik itu lebih memilih karir diluar sepak bola seperti, jadi dokter, polisi, pengusaha, karyawan kantor atau profesi lainnya jika memang itu lebih menjanjikan ? apa mereka salah ? daripada tidak jelas bagaimana step-step-nya menjadi pemain pro dan menyebabkan masa depan agak buram, mending melanjutkan pendidikan dan mencari profesi lain. Nepotisme juga harus kita akui sangat kuat mengalir di otak pelatih-pelatih bola baik untuk daerah ataupun nasional. Pemain yang punya link baru bisa terseleksi, jika tidak punya ya tetap bisa tapi sangat sulit. Ini memang isu tapi sudah menjadi rahasia umum karena sudah banyak kesaksian seperti ini. Ini masalah yang berat, karena apapun bentuknya jika KKN masih bermain maka tidak akan ada kemajuan didalamnya.
2. Penuhnya Praktik Politik dan Kecurangan
Ayolah, kita bersama-sama akui saja kalau sepak bola di negeri kita ini memang Naudzubillah tindakan tidak sportifnya dan muatan politiknya. Ini masalah berat, sampai kiamat pun sepak bola kita tidak akan maju jika muatan ini masih ada. Semua pasti setuju kan ?. Ini memang isu sensitif, tapi tidak usah takut, buanyak buktinya.
Sejak jaman dahulu kala, isu suap di sepak bola negara kita ini sudah banyak yang beredar. Tanyalah pada Tony Pogacnik pelatih legendaris dan tersukses timnas era 50-an s/d 60-an, bagaimana sakitnya dia melihat pemainnya digiring polisi karena dicurigai terlibat dalam kasus suap pengaturan skor sehingga menyebabkan timnya yang dia persiapkan selama 10 tahun khusus untuk Asian Games 1962 hancur lebur oleh skandal suap itu. Untuk berita mengahrukan tersebut rekan-rekan bisa melihatnya disini. Kita pasti mengelus dada tidak berdaya jika membaca artikelnya secara lengkap yang diangkat oleh media on line detik.com. Tindakan tidak sportif dan memalukan lainnya adalah ketika mengingat gol bunuh diri yang terlihat jelas sangat disengaja dilakukan oleh Mursyid Effendy ketika berhadapan dengan Thailand di piala Tiger 1998. Tragedi itulah diantaranya menjadi sejarah paling kelam sepak bola Indonesia.
Jika kita berbicara masalah muatan politik di tubuh timnas kita, asal tahu saja PSSI dibentuk pada tahun 1930 oleh Soeratin sebenarnya juga bermuatan politik namun itu positif karena bertujuan untuk mengkampanyekan rasa nasionalisme pemuda Indonesia melalui olahraga yang saat itu masih bertempur dengan Imperialis Belanda. Coba lihat pada jaman Bung Karno, pelatih Indonesia didominasi oleh orang lokal dan Eropa Timur, pemilihan pelatih dari Eropa Timur ini juga terpengaruh politik. Apa itu alasannya kita tidak usah bicarakan disini deh, nanti malah terlalu jauh menyimpang. Berlanjut ke jaman Soeharto, siapa yang tidak tahu jika semua ketum PSSI adalah pesanan oleh Soeharto pada masanya. Jaman sekarang ini, apakah Agum Gumelar dan Nurdin Halid ini bukan orang-orang yang pernah dan masih berkecimpung didunia politik ?. Djohar Arifin ketua PSSI ini pun sangat erat hubungannya dengan partai politik walaupun pada dasarnya dia bukan orang politik. Belum lagi pengurus-pengurusnya, hampir semuanya adalah orang-orang dari politik.

Sekarang beralih ke klub. Mayoritas klub di liga lokal itu adalah klub plat merah atau klub yang menggunakan uang rakyat atau APBD. Cek satu-satu nama pembina, ketua, atau pemimpin-pemimpin klub plat merah itu, adakah yang tidak menjabat sebagai bupati, gubernur atau jabatan politik lainnya ?. Padahal FIFA sebagai induk sepak bola dunia sangat amat alergi dengan namanya sepak bola bercampur dengan kekuasaan politik. Tapi memang dasarnya politikus negeri kita memang ngeyel. Aturan macam apapun dikadalin. Bahkan pernah PSSI menjadi satu-satunya organisasi dibawah FIFA yang ketuanya dipenjara tapi masih tetap menjabat. Padahal itu dilarang oleh FIFA yang statutanya selalu mereka jadikan tameng pelindung yang diucapkan PSSI saat terdesak untuk mundur oleh publik. Ngeri ga ? tapi itulah yang terjadi di negara kita ini. Haah, rasanya kita Cuma bisa mengelus dada melihatnya. Sudah lah, untuk ulasan yang satu ini kita tidak usah panjang lebar membicarakannya. Makin sakit hati kita nanti.
3. Belum Professionalnya Klub-Klub Lokal
Mungkin hanya Arema dan Semen Padang saja yang dananya tidak tergantung kepada APBD serta kepemilikannya dimiliki oleh swasta. Dari ratusan klub di negeri kita ini, bisa dihitung dengan sebelah jari tangan tim yang bersih tidak menggunakan dana dari APBD. Percaya atau tidak, hampir semua klub di Indonesia ini pernah mengalami masalah keuangan bahkan hampir dan pernah beberapa tim berhenti berkompetisi di tengah jalan karena tidak kuat menanggung beban operasional untuk 1 musim kompetisi. Kontrak pemainnya saja besar-besar tapi ujung-ujungnya banyak gaji pemain yang tertunggak. Contoh kasus Diego Mendieta adalah kasus paling memilukan jika menyangkut tentang masalah gaji ini.
Menggunakan APBD berarti sama saja dengan membuat klub-klub tanah air selamanya tidak akan bisa maju. APBD adalah dana tahunan rakyat di suatu daerah sehingga dana tersebut tidak bisa diputar untuk kehidupan tim secara berkesinambungan. Kenapa begitu ? ya karena klub-klub itu memperoleh dana hanya setiap tahun sekali tanpa tahu secara pasti jumlah dana yang disediakan untuk mereka oleh kepala daerahnya. APBD yang diterima suatu daerah kan juga tidak sama tiap tahunnya. Bagaimana bisa sebuah tim menjalankan kehidupannya secara baik dan berkelanjutan jika dananya saja tidak diketahui berapa jumlahnya dan kapan akan keluar. Jika dana sudah ada, untuk mencairkannya pun sulit karena terbentur aturan-aturan birokrasi, belum lagi jika tiba-tiba dana APBD itu dirubah nominalnya. Bagaimana tidak menggangu persiapan ? Perencanaan untuk membentuk tim saja baru bisa dilakukan setelah ada kepastian dana. Itupun kalau suntikan APBD-nya disetujui, jika tidak ? ya tidak bisa jalan.
Klub itu didirikan untuk jangka waktu yang panjang, bukan untuk sementara saja. Ditambah lagi pengeluaran sebuah tim sepak bola profeessional tidak hanya menyangkut gaji dan akomodasi pemain dan official. Hal penting lainnya adalah jaminan kelangsungan hidup sebuah klub untuk terus berjalan. Contohnya pembinaan skuad muda, penggunaan dan pembangunan infrastruktur, sponsorship dan branding. Jika menyangkut masalah itu, Itu berarti menyangkut dana saat ini, masa depan dan dana tiba-tiba. Mana bisa melakukan itu semua jika dananya dari APBD ?. Ikut kompetisi musim selanjutnya saja belum pasti.
Efek lainnya adalah pengelolaan keuangan sebuah tim akan dilakukan secara sembarangan dan berjangka pendek. Wong dananya dari pemerintah kok, kalau tidak dihabiskan dalam 1 musim ya rugi dan tidak efektif. Klub juga menjadi sangat royal menghambur-hamburkan uang untuk suatu keperluan tanpa memperdulikan neraca keuangan klub yang dananya memang hanya untuk satu tahunan saja. Sering kali klub tanah air mengontrak mahal pemain yang tidak sesuai dengan kemapuannya. Sepak bola Indonesia merupakan negara dengan rata-rata kontrak dan gaji terbesar di Asia Tenggara. Tapi dilihat dari kualitas liga dan timnasnya tidak lebih baik dari negara-negara lainnya di ASEAN. Itu cenderung ironis jadinya karena tidak sebanding antara gaji dan kualitas. Pemain-pemainnya juga dikontrak rata-rata setahun- setahun. Selain jelek untuk pemain karena masa depannya belum jelas dan bermain dengan tim yang beda-beda tiap tahun ya jelek juga buat tim karena harus melakukan perombakan besar-besaran setiap tahunnya.
4. Kurangnya Perhatian Pemerintah dan Infrastruktur
Untuk yang satu ini simpel saja, setelah mereka pensiun dan tidak bisa menghasilkan uang nanti mereka akan makan dari mana ? contohnya banyak tidak hanya dari sepak bola. Wongso Suseno (Tinju : Mantan juara dunia), Marine Segedi (Pencak Silat : medali emas Sea games dan juara Asia), Suharto (Sepeda : medali emas Sea Games). Untuk yang sepak bola ada nama Abdul Kadir (timnas periode tahun 1965-1978), Emen Suwarman (Timnas Era 60-an), dll. Setelah mereka pensiun, mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga mereka harus hidup melarat dam bekerja sebagai apapun untuk tetap bertahan hidup. Sebenarnya UU untuk melindungi atlet yang sudah pensiun itu sudah ada dan terbit pada tahun 2005. Tapi melihat masih banyaknya mantan atlet yang hidupnya luntang-lantung, pemerintah beralasan sulitnya mencari alamat mereka. Itu tidak mungkin, sumber daya pemerintah itu besar, masa kalah dengan Ikatan Atlet Nasional Indonesia (IANI) yang berhasil menemukan data mantan atlet berprestasi sampai ribuan orang. Jadi jika ada pemain berbakat kita lebih memilih menempuh pendidikan untuk masa depan lain selain olah raga, saya lebih mendukung itu daripada nanti masa tua mereka berantakan.
Lain lagi jika kita berbicara infrastruktur. Untuk stadion berskala Internasional, Indonesia mempunyai Stadion Utama Glora Bung Karno, Gelora Jakabaring Palembang, Stadion Palaran Samarinda, Stadion Utama Riau, Gelora Bung Tomo Surabaya, Stadion Aji Imbut Tenggarong Kutai Kertanegara, Gelora Bandung Lautan Api, belum lagi nama-nama macam Jalak Harupat, Maguwoharjo dan Manahan Solo yang berrstatus B+. Itu prestasi yang baik sekali. Tapi pernahkah ada yang berfikir apakah hanya dengan membangun stadion bakat-bakat terbaik akan muncul ?. Stadion-stadion megah itu pun tidak akan boleh dimainkan sembarangan dan stadion-stadion itu bukan milik pribadi klub tapi milik pemkot atau pemprov. Tanpa meremehkan maksud dibangunnya stadion-stadion itu, infrastruktur tidak hanya stadion belaka. Jangan jauh-jauh deh, lapangan untuk latihan saja, rata-rata klub nasional kita berlatih sehari-hari di stadion tempat bertanding. Itu seharusnya dipisahkan. Stadion tidak boleh digunakan untuk latihan. Belum lagi akademi untuk pendidikan pemain muda, padahal akademi ini penting sekali. Jika lebih jauh lagi, infrastruktur sebuah klub pro itu didukung oleh klinik pribadi, kantor pengurus klub bahkan official store/shop. Infrastruktur itu sangat penting, Chelsea mengalaminya sendiri, sebelum mereka dimiliki pengusaha kaya, mereka hanya berlatih di lapangan yang disewa dari sebuah sekolah/universitas di London. Prestasi mereka selama itu tidaklah sangat istimewa. Setelah meleka membangun pusat latihan, prestasi mereka terbukti meroket.
Kesimpulan
Dari kesemua sebab-sebab itu, benang merahnya menurut saya simpel untuk dibicarakan tapi memang sulit diperbaiki. Namun ingat itu tidak mustahil. Timnas yang kuat bisa dibentuk oleh kompetisi yang berjalan baik dan kredibel. Kompetisi itu sendiri terdiri dari klub-klub yang berkompetisi didalamnya. Kompetisi yang kredibel itu terbangun dari klub-klub yang profesional. Nah, ke-profesional-an klub-klub itu ditentukan oleh manajemen, pemain-pelatih dan termasuk basis supporternya. Semuanya saling terkait, maka dari itu kita sulit lepas dari lingkaran setan ini. Jika itu semua berjalan dengan kualitas yang baik maka kemajuan sepak bola kita akan berjalan searah. Contohnya Jepang, dulu mereka belajar kompetisi dari Galatama Indonesia, sekarang lihat mereka dengan tekun dan profesional membangun sepak bola mereka, hasilnya sudah mulai terlihat.
Sebagai seorang pecinta sepak bola yang cuma bisa ngomong doank. Saya mempunyai beberapa pendapat bagaimana sepak bola negeri kita ini bisa bangkit kembali. Disamping saya juga yakin kalian mempunyai analisa yang jauh lebih kuat daripada saya karena ini menyangkut merah putih.
1. Non-aktifkan Kompetisi Nasional Minimal 2 Tahun
Kenapa begitu ? walaupun kita sensi dengan Malaysia, tidak ada salahnya kita mengambil pelajaran dari negeri jiran ini. Sebelum berhasil meraih Sea Games 2 kali berturut-turut dan meraih Piala AFF untuk pertama kalinya, organisasi sepak bola Malaysia menghentikan kompetisinya selama 2 tahun dan hanya menjalankan kompetisi untuk pemain muda dikarenakan jalan ditempatnya prestasi timnas Malaysia. Ide menghentikan kompetisi ini muncul setelah di Piala Asia 2007 dimana Malaysia sebagai salah satu Hostnya babak belur dikandang sendiri. Kompetisi mereka terbukti tidak berjalan efektif, akhirnya diputuskan untuk sementara waktu dihentikan dan fokus kepada pembinaan pemain muda. Hasilnya sangat nge-jreng, semua kompetisi tertinggi di Asia Tenggara berhasil mereka raih dengan bermaterikan pemain muda yang mereka didik selama 2 tahun itu.
Hal ini menjadi tamparan buat kita yang tidak pernah ingin kalah dari negeri jiran ini. Bahkan mereka mengangkat medali emas dan piala AFF di negara kita ini. Rasanya tidak sudi, tapi kita mau ngomong apalagi kalau memang sudah kalah. Kenapa tidak jika kita lakukan yang sama. Saya yakin seyakin-yakinnya hasil kita akan lebih baik dari Malaysia melihat bakat-bakat muda kita yang tangguh. Stop program pengiriman pemain-pemain muda kita untuk disekolahkan di negara dengan kultur sepak bola maju. Selain tidak efektif, hal itu memakan biaya yang banyak. Pengalaman mungkin mereka dapatkan dan itu perlu. Tapi masalahnya setelah mereka pulang dari perguruannya diluar negeri itu mereka akan kembali lagi ke Indonesia dan bermain di kompetisi lokal yang amburadul ini. Sekalipun mereka di sekolahkan di luar bumi pun, mereka tidak akan bisa maju kecuali tidak bermain di liga lokal tanah air. Jika mereka bermain di liga lokal, apa yang mereka dapat dari pembelajarannya itu akan hilang karena terpengaruh kultur liga lokal yang sudah aduhai ini masalahnya. Untuk itulah, jika kompetisi dihentikan kita bisa fokus mencurahkan perhatian kepada permata-permata muda kita ini. Biarkan mereka berkembang, tidak diganggu lagi yang namanya pemain asing atau pemain senior yang bisa menggusur pemain muda penuh bakat cuma karena nama besar bukan skill semata dan tidak diganggu praktik tidak sportif yang sudah menjalar di liga level senior. Dari kompetisi itu kita bisa dengan mudah memilih mana pemain yang terbaik, bentuk jadi satu menjadi sebuah timnas untuk berbagai tingkatan usia.
Tapi jangan terlalu lama menghentikan kompetisinya, karena pemain-pemain senior kita juga mempunyai anak dan istri yang harus mereka penuhi nafkahnya. Tanpa kompetisi yang berjalan, mereka tidak akan bisa mengahsilkan uang untuk keluarganya. Itu juga harus diperhatikan.
2. Sekolahkan Pelatih ke Luar Negeri, Bukan Pemainnya
Jika timnas muda kita ingin disekolahkan lagi itu tidak masalah, toh kita bisa sama-sama fokus kepada mereka karena tidak terganggu dengan kompetisi yang amburadul. Tapi saya rasa tidak perlu. Justru yang harus disekolahkan adalah pelatih-pelatih kita. Sekolahkan pelatih-pelatih yang punya kemampuan hebat sebelum penghentian kompetisi itu. Setelah mereka pulang ke tanah air, mereka bisa mempraktekan semua ilmu yang mereka dapat di luar negeri dalam kepelatihan maupun dalam melihat dan mengembangkan bakat muda kepada jutaan bakat-bakat di Indonesia. Saya rasa itu lebih efektif daripada menyekolahkan pemain. Karena yang bisa disekolahkan itu tidak sebanding dengan banyaknya calon pemain, selain itu apa yang mereka dapat di luar negeri itu pastinya untuk diri mereka sendiri. Berbeda halnya dengan menyekolahkan pelatih. Apa yang mereka dapat di luar negeri tentu bukan untuk mereka sendiri kan ?, tapi untuk anak-anak yang mereka latih. Mereka bisa melatih bakat-bakat muda Indonesia dengan metode berstandar internasional. Selain jumlah pelatih potensial lebih sedikit yang berarti lebih sedikit juga memakan biaya, saya rasa metode ini lebih efektif ketimbang menyekolahkan pemain. Dilihat dari segi mental juga menyekolahkan pelatih bisa lebih sukses karena mereka sudah tua dan lebih bijak, lebih tidak beresiko dalam beradaptasi dan lebih kuat terhadap serangan penyakit homesick.
3. Larang Semua Orang-Orang Politik untuk Terlibat dalam Sepak Bola
Ini yang sulitnya bukan main untuk dilakukan. Bagaimana caranya membersihkan semua unsur sepak bola dari orang-orang politik jikalau kepengurusannya sendiri dikuasai oleh orang-orang politik dari bawah hingga atas ? padahal yang mempunyai hak untuk mengubah struktur organisasi dan merubah aturan PSSi adalah jajaran pemimpinnya dan exco. Selama orang orang politik memegang kekuasaan di PSSI, tidak akan ada kemajuan yang akan diperoleh, kenapa ? simpel saja, karena tujuan dari mereka untuk duduk di PSSI adalah untuk menarik popularitas di mata masyarakat. 200 juta lebih penduduk Indonesia dan hampir semuanya cinta dengan sepak bola, sangat mudah mendapatkan perhatian sebagian besar masyarakat untuk meningkatkan popularitas dari olah raga ini. Dengan fakta ini, prestasi timnas dan baiknya kompetisi bukanlah prioritas mereka.
Ini yang membuat saya bingung, FIFA melarang terlibatnya politik dalam persepak bolaan, tapi Indonesia menabrak aturan itu. Satu-satunya yang bisa mengubah mungkin Presiden/pemerintah dengan pembuatan undang-undang. Itu berarti sama saja semakin melanggar aturan FIFA tentang politik jika sampai pemerintahan ikut campur di sepak bola, ancamannya tentu saja sanksi. Tapi kalaupun pemerintah kita bisa meyakinkan FIFA dengan lobi-lobinya, UU untuk mengatur itu juga pasti akan sulit diterbitkan. Bukankah UU itu bisa terbit jika sudah disetujui oleh Legislatif ? mana mau mereka mengesahkan UU itu karena pengurus PSSI kita dijejali orang-orang DPR.
4. Profesionalkan Klub-Klub dan Pertegas Aturan
Kenapa sepak bola kita sering rusuh ? kenapa kualitas wasit kita jelek ? kenapa para pemain kita lebih sering bermain silat di tengah lapangan ? penyebabnya hanya 1, aturan yang kurang tegas. PSSI begitu lemah dalam memberikan sanksi bagi elemen yang bersalah. Liga Itali saja yang pernah rusuh saat terjadinya Derby Sisilia antara Catania vs Cagliari yang menewaskan 1 orang polisi, FIGC memutuskan pertandingan pekan itu dihentikan lalu regulasi diubah. Stadion dengan sarana keamanan yang kurang memadai, dilarang melangsungkan pertandingan dengan penonton. Beda halnya dengan kita, banyak fans-fans yang mati akibat kerusuhan antar suporter saat pertandingan, apalagi fans yang sampai rusuh di dalam stadion juga banyak, yang seperti itu seharusnya bukan diberikan sanksi yang biasa-biasa saja. Itu baru tentang fans, baru-baru ini ada pemain yang dengan buruknya menghantam wasit dari belakang, sanksi awalnya begitu tegas, seumur hidup dilarang mengikuti kompetisi. Tapi memang kacau, setelah banding hukuman hanya menjadi 1 tahun. Dari seumur hidup hanya menjadi 1 tahun, putusan macam apa itu ?. ini baru satu contoh, banyak contoh lainnya seperti apa yang dialami pemain naturalisasi kita Christian Gonzales yang bertindak brutal memukul pemain lain. Kapan kualitas liga kita akan baik jika aturan lembek seperti ini.
Selama 2 tahun penghentian kompetisi ini, klub-klub peserta liga nantinya bisa diperketat lagi regulasinya. Banyak hal yang bisa dilakukan selama 2 tahun itu untuk memprofesionalkan mereka.Paling penting mereka tidak boleh lagi menggunakan dana APBD. Banyak cara yang bisa dilakukan. Waktu 2 tahun itu waktu yang cukup untuk dipergunakan mencari sponsor yang bisa mendukung keuangan klub. Terlebih tim-tim dengan tradisi kuat dan fans fanatik macam Arema, Persebaya, Persija, Persib, Persipura, Sriwijaya FC, dan tim kuat lainnya di Indonesia sangat mudah menarik minat sponsor. Cara lainnya adalah dengan mematenkan logo dan pernak-pernik klub sehingga brand mereka bisa dijadikan bisnis untuk mencari uang sendiri. Jika sudah begitu, penjualan marchendise dengan logo klub itu keuntungannya bisa maksimal, lalu semua hal yang menggunakan brand atau logo klub itu sendiri harus seizin dari klub dengan berbagai perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak tentunya.
Tetapkan standar infrastruktur yang cukup. Bagi tim yang tidak memenuhi syarat tidak boleh bermain di kasta tertinggi, kedua atau seterusnya. Saya rasa cukup jika 2 tahun dipergunakan untuk membangun infrastruktur yang memadai. Pembangunan infrastruktur memang membutuhkan biaya, tapi ini investasi. Basis suporter klub-klub di indonesia sangat besar, sebab seperti yang kita ketahui klub-klub kita ini mewakili kabupaten mereka masing-masing sehingga hampir semua tim mempunyai fans yang banyak. Jika stadion klub-klub ini nyaman untuk didatangi, intensitas fans yang menyaksikan pertandingan langsung di stadion pasti semakin banyak. Urusan terakhir tentu bentuk skuad lengkap serta pembentukan akademi mudanya. Jika tim mereka sudah kuat, manajemen terbentuk professional dan infrastruktur menunjang, liga lokal Indonesia sudah memasuki fase baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Saya lebih banyak mengkritik dalam diskusi ini karena ini menyangkut timnas di negara tempat saya menjadi warga negaranya. Saya adalah penggemar olah raga ini dan ingin timnas berada di tempat yang tinggi. Dulu kita 10 langkah didepan ratusan negara di benua Asia lainnya. Namun karena hal-hal yang justru di luar sepak bola menyebabkan jalan ditempatnya sepak bola Indonesia. Puluhan negara lain sudah banyak yang menyalip kita, tidak ikhlas lahir batin sepak bola negeri saya mundur karena alasan diluar sepak bola.
Saya yakin seyakin-yakinnya, nasionalisme bangsa kita ini terbaik diantara bangsa-bangsa lain. Lihat saja saat negeri jiran menggangu kedaulatan kita. Hampir semua masyarakat ingin angkat senjata. Lihat saja animo masyarakat kita saat gelaran piala AFF lalu, keluar semua rasa cinta tanah air kita. Rasa cinta itu bisa diwujudkan melalui olah raga atas nama negara salah satunya. Sedikit miris ketika melihat perjumpaan historis kita dengan Belanda, banyak suporter timnas justru lebih mendukung timnas Belanda. Memiliki timnas yang kuat seakan-akan sudah mencapai ubun-ubun. Ingin rasanya suatu saat nanti timnas terbaik didunia macam Brazil dan Spanyol pun akan segan mengatakan “kami datang ke Indonesia untuk menang” dan dengan gagahnya suporter kita membentangkan banner besar bertuliskan “Kami tidak akan kalah, selamat datang di negeri Garuda”.
Silahkan jika teman-teman berkenan untuk melakukan analisa sesuai topik ini di form komentar. Jika ingin di share atau publish di website kalian sendiri juga silahkan, namun jika tidak keberatan mohon dicantumkan sumbernya dan backlink.
Terima kasih sudah mampir untu membaca. Salam virfast.net
Referensi : bolalob, kompasiana, kompas, pelita
Leave a Reply