Menilik Runtuhnya Keperkasaan Inter Pasca Treble

Inter Saat Menjuarai Liga Champions 2010

Saya akan jujur pada anda, saya seorang Interista. Pertanyaan ini pastinya ada di banyak otak loyalis La Beneamata. Aneh bukan ? Coba lihat Manchester United dan Barcelona, mereka tidak mengalami performa yang anjlok luar biasa setelah treble, saya yakin Bayern Munich juga tidak akan runtuh seperti Inter. Semenjak ditinggal kekasihnya Jose Mourinho, Inter seperti benar-benar ditinggal kekasih, oleng, galau, dan tidak bernafsu. Sampai yang terakhir Mazzari, Inter berarti telah mempunyai 6 pelatih kira-kira hanya dalam 3 tahun ini!

Mari analisa satu-persatu pelatih pengganti Mou.

1. Rafael Benitez

Saya pikir tidak ada yang salah dengan Benitez. Pilihan yang tidak jelek diawalnya karena reputasi yang dibawa oleh Benitez selama menjadi seorang pelatih menunjukan bahwa dia memang pelatih yang punya kelas. Kesalahan paling fatal menurut pengamatan saya justru ada di manajemen yang belum mempercayainya 100%. Disamping itu Benitez juga terlalu arogan dengan berani menantang Presiden Moratti dan memilih berkonfrontasi dengan Mourinho selama melatih Inter. Sudah rahasia umum Benitez dan Mou tidak suka satu sama lain dimulai saat masih sama-sama menukangin tim Liga Premier Inggris. Rivalitas ini terbawa sampai Benitez menjadi suksesor Mourinho di Inter. Ingat, begitu menempelnya sosok Mourinho di hati pemain, tapi dengan arogannya Benitez ingin mengahapus memori tentang Mou. Komunikasi dengan tim lah yang menjadi masalah terberatnya. Dia mempunyai beberapa konflik dengan pemain terutama Materazzi. Menjadi bencana besar jika antara pemain dan pelatih tidak terjalin hubungan yang harmonis.

Disamping komunikasi, masalah lain Benitez yang membuatnya gagal adalah membawa perubahan radikal gaya bermain Inter yang semula pragmatis menjadi ball possessioning. Sayangnya perubahan itu dilakukan dengan tergesa-gesa dan tidak dibarengi dengan perubahan skuad sesuai keinginan Benitez.

Itu adalah sebuah perjudian yang besar, karena terlalu dipaksakan. Saya bisa memahami jika Benitez mengalami kesulitan dalam hal ini. Dirk Kyuit dan Mascherano yang menjadi permintaannya batal direkrut hingga membuat Benitez sulit mengaplikasikan strateginya karena harus memaksakan pemain-pemain yang bertipe pragmatis untuk bermain dengan tipe penguasaan bola

Saya berpendapat melakukan perubahan di tubuh tim apalagi secara frontal harus di-back-up keuangan yang kuat jika tidak mesti dilakukan secara bertahap bukan malah memaksakan ide berjalan secepatnya.

Terdepaknya Benitez bukan masalah prestasi, karena prestasinya terbilang cukup dengan meraih 2 gelar dari 3 kesempatan. Alasan terdepaknya Benitez lebih karena dia kurang disukai dan tidak cocok untuk klub ini.

2. Leonardo Araujo

Dari ke-5 pelatih lainnya, bagi saya dialah pelatih paling sukses setelah era Mourinho, bukan Rafel Benitez. 1 Coppa Italia, Runner-up Serie-A dan Perempat Final Liga Champions (meski mengalami kekalahan memalukan dari Schalke 04) bukan pencapaian yang buruk sebagai pelatih pengganti di tengah jalan. Gelar yang diraih Benitez sebenarnya juga hebat, namun perlu kita ingat juga kesemua gelar yang diraih Benitez itu adalah gelar turunan suksesnya Inter merengkuh treble winners.

Masalah Leonardo hanya 2 hal, pertama lebih berhasrat menjadi direktur tim daripada melatih kedua dia adalah legenda tulen Milan. Itulah alasan terkuat mengapa dia meninggalkan Inter saat hanya melatih kurang dari setahun padahal disisi lain dia mengakui nyaman di Inter. Sangat disayangkan, karena sebenarnya saya sangat ingin melihat Leonardo tetap melatih Inter dan melakukan kegiatan perburuan pemain sesuai keinginannya.

Memang ada transfer musim dingin saat Leo melatih, namun tentunya jauh lebih baik jika pembelian dilakukan di off-season. Leonardo sangat cerdas, dia menguasai 4 atau 5 bahasa dan sangat pintar bernegosiasi dengan pemain untuk mengajaknya bergabung. Namun sayang kita tidak melihat kebijakan transfer itu karena Leonardo sudah lebih dulu pindah ke tim kaya baru, PSG untuk mengisi pos direktur disana. Sekarang lihat saja arus transfer pemain PSG, hampir semua targetnya berhasil di gaet.

3. Gianpierro Gasperini

Untuk penunjukan pelatih ini rasanya memang ada yang salah. Apa yang special dari pelatih ini ? saya rasa tidak ada, hanya membawa Genoa tampil impresif di musim 2008/09, itu saja. Mungkin ada satu pembelaan yang masuk akal untuk pelatih ini sesuai dengan komentarnya : “Saya siap menantang dunia dengan Milito, Eto’o dan Palacio, namun yang terjadi manajemen malah menjual Eto’o dan mendatangkan pemain yang tidak sesuai dengan kriteria yang saya inginkan”. Ada benarnya juga, setiap pelatih punya ide masing masing, apalagi pakem favoritnya sangat jarang dipakai pelatih di jaman itu yakni 3-4-3.

Ironisnya tentu saja penjualan Eto’o dan batalnya transfer Palacio (malah datang pada jaman Stramaccioni).

4. Caludio Ranieri

Julukannya adalah “The Tinkerman”, apa kalian tau artinya ? kira-kira arti kasarnya adalah orang yg selalu mengutak-atik skema permainan kapanpun bahkan untuk lima menit saja dalam 1 pertandingan. Cocok dengan dirinya sebagai spesialis menyembuhkan tim yang bermasalah untuk bangkit namun tidak pernah juara. Tidak heran memang karena strategi seperti itu hanya bisa untuk meledak sesaat bukan untuk jangka waktu yang panjang, masih menurut saya lho ya.

Contoh paling nyata yaitu Roma, setelah menurun saat dilatih Spaletti diawal musim, dia membawa Roma melejit menjadi penantang gelar Scudetto bagi Inter ketika memenangi Treble. Beruntung ada 2 gol Pazzini yang membawa Sampdoria menang 3-2 atas Roma di Olympico sehingga membuat Inter kembali menyalip Roma dengan keunggulan 2 poin. Jika tidak Wallahu’alam Inter bisa treble atau tidak karena sepekan sebelumnya Inter kalah 2-1 dari Roma dan akhirnya posisi puncak dikudeta oleh Roma.

Saya juga bingung menganalisa kenapa pelatih ini gagal, dan kemungkinan paling besar adalah karena pulihnya playmaker idola loyalis Inter, Wesley Sneijder. Memang ada yang salah dengan Wesley ? untuk kualitas individunya saya rasa tidak ada yang salah, saya juga suka dengan pemain ini.

Tapi ingatkah saat Inter menang beruntun di 7-8 laga awal ditangan Ranieri ? Ya, itu diraih dengan skema permainan 4-4-2 flat dan kuncinya formasi itu tidak membutuhkan keberadaan playmaker. Formasi itu manjur membawa Inter kembali menemukan rumahnya di papan atas. Saat sembuhnya Sneijder dari cidera inilah Ranieri mengalami dilema berat. Saat seorang pelatih sudah menemukan pakem terbaik, rasanya bodoh jika mengubahnya hanya karena 1 pemain apalagi pemain ini tidak bisa dimainkan perannya di pakem tersebut. Tapi ini Sneijder bung ! Apa kata dunia jika menyia-nyiakan pemain sekelas Sneijder ? Rugi, sayang banget, bodoh atau apa saja. Disinilah titik hancurnya Inter ditangan Ranieri.

5. Andrea Stramaccioni

Begitu besar harapan para Interisti kepada pelatih ini. Bayangkan saja besarnya energi dan gairah yang ditawarkan pelatih muda dengan usia 36 tahun dimana bahkan lebih muda dari kapten Zanetti dan sebelumnya sukses membawa tim primavera Inter menjuarai NextGen Series 2012. Semenjak ditinggalkan Mourinho mungkin inilah pelatih yang membuat antusiasme Interisti seperti lahir kembali.

Inter sejak dulu terkenal sebagai pengoleksi pemain yang sudah jadi, sudah pada usia matang atau bahkan memasuki fase pensiun. Sebenarnya scout Inter bekerja dengan sangat baik dalam melakukan tugasnya. Namun anehnya saat pemain tersebut berhasil di gaet jarang sekali ada yang berkembang di Inter, contoh paling fatal adalah Pirlo, Seedorf, Bergkamp dan masih ada lagi yang lainnya. Datangnya Stramaccioni diharapkan dapat mengubah kebisaaan buruk itu melihat usianya dan berhasilnya Don Strama membawa kejayaan kepada tim Primavera Inter di Eropa. Diharapkan Strama mempunyai insting yang sama besarnya seperti Alex Ferguson di MU atau Wenger di Arsenal dalam mengembangkan potensi pemain muda.

Ditangannya Inter begitu menjanjikan di awal musim. Inter bahkan sukses menghajar tim terkuat Serie-A saat ini, Juventus dikandangnya sendiri dengan skor 3-1 yang sekaligus menghentikan rekor tidak pernah kalahnya Juventus di angka 49. Tidak itu saja, Derby Milano juga dimenangkan melalui gol tunggal Samuel. Inter dibawanya melejit ke posisi 2 dengan beda 1 poin dari Juventus. Tapi inilah titik balik Inter di tangan Stramaccioni dengan hilangnya momentum kemenangan.

Tepat 1 pekan setelahnya Inter keok di tangan Atalanta dengan skor 3-2. Mulai dari sinilah hasil buruk beruntun menimpa Inter. Banyak yang setuju penurunan tersebut terjadi karena masalah cidera dan kali ini saya sepakat. 90%, cidera-lah yang membuat Inter terpuruk. Bayangkan selain Carizzo, Rochi, Schelotto dan beberapa pemain muda primavera, siapa yang tidak pernah bermasalah dengan cidera ? Diluar itu saya melihat setidaknya ada 2 alasan lain selain cidera yang turut menjadi faktor menurunnya performa Nerzzurri yaitu :

  1. Pengalaman. Bisa dibayangkan jika anda menjadi pelatih tim besar namun harus kehilangan lebih dari 80% pemain inti dan itu menjadi debut anda sebagai pelatih professional ? Apa yang akan anda lakukan jika anda berada di posisi Strama dengan pengalaman yang masih sangat minim ?
  2. Taktik dan mental. 3-4-3, 3-4-1-2 atau 3-5-2, inilah formasi yang paling sering dipakai Stramaccioni. Formasi dengan 3 bek ini mulai dipercaya setelah kemenangan melawan Fiorentina 2-1. Namun setelah formasi ini terbaca oleh lawan dan berhasil dipatahkan masih saja Strama tetap memaksakan memakai sistem 3 bek. Strama terlalu takut merubah pakem secara frontal, mungkin takut berjudi hasilnya malah tambah hancur.

Saya tidak menganggap transfer sebagai salah satu alasan kenapa pelatih muda ini gagal total. Saya mengerti pasti banyak yang menyalahkan sektor ini sebagai blunder dari Strama, contohnya adalah tidak adanya pelapis sepadan untuk posisi striker.

Diawal musim Inter memiliki Milito, Cassano, Palacio dan Livaja sebagai striker di tim utama dan ketiga striker yang disebutkan awal menjadi andalan dengan dimainkan sekaligus jika dalam keadaan fit. Jika diantara 3 striker itu ada yang tidak fit maka tidak akan ada pelapis yang sepadan. Strama tahu akan hal itu dan sudah meminta tambahan striker, tapi manajemen-lah yang tidak bergerak untuk pos striker. Andaikan manajemen tidak melepas Forlan, yang saya kira Forlan akan sangat berguna pada masa kritis jika dia masih mengenakan seragam nomor 9 di Inter.

Pelatih Inter 2 Tahun Terakhir

Kesimpulan

Semua ulasan saya diatas adalah beberapa analisa atau opini saya jika dilihat dari juru taktik. Kesimpulan dari ambruknya Inter bukan saja hanya dari pelatih, ada juga manajemen melalui kebijakan transfernya, krisis ekonomi di Eropa terutama Itali dan satu lagi adalah efek Mourinho.

Mari kita bicarakan.

1. Krisis ekonomi benua Eropa

Spanyol, Yunani dan Itali adalah Negara yang mengalami krisis ekonomi terparah diantara yang lainnya. Hal itu berimbas kepada kondisi financial klub sepak bola di tiga Negara tersebut khususnya bagi klub dengan owner pribumi. Inter kita ketahui dimiliki oleh Moratti seorang pengusaha atau keluarga pemilik bisnis perminyakan Saras. Dan ironisnya bisnis minyak adalah bisnis yang paling merasakan dampak negatif dari krisis ekonomi.

Keuangan Saras menjadi goyang lalu berimbas kepada pendapatan Moratti yang tentunya akan berpengaruh kepada kekuatan financial Inter yang sebelumnya terkenal sebagai klub yang royal berbelanja pemain. Efeknya langsung terlihat, pemain dengan gaji tinggi atau pemain yang ditawar oleh klub lain dengan harga yang pas Eto’o, Maicon, Motta, Cesar, Coutinho dan Sneijder terpaksa dilego dan diganti dengan pemain dengan harga yang terjangkau dengan alasan keseimbangan neraca klub. Padahal sebagaimana dilansir Delloite, pasca treble pemasukan bersih Inter menembus angka 100 juta Euro.

Nama-nama berkualitas seperti Lucas Moura, Paulinho, Isla dan Tevez gagal direkrut karena harga yang tidak terjangkau. Sebagai gantinya Inter mencoba mengganti kebiasaaan mereka dengan ber-invest kepada pemain muda dan membeli pemain yang efektif secara kebutuhan dan harga. Hasilnya sudah ada yang terlihat, muncul nama-nama segar seperti Rannochia, Guarin, Kovacic, Longo, Juan Jesus, Benassi, sampai Alvarez. Nama-nama ini sangat menjanjikan jika digunakan dengan benar dan dipegang pelatih yang benar juga. Namun itu dia, kita harus sabar menunggu perkembangan mereka, contoh lah Barca, MU, Dortmund dan Bayern Munich.

Loyalis Inter harus mulai mengerti dan tidak terlalu berharap lagi Inter mampu bersaing secara budget dengan tim lain untuk mendatangkan nama-nama tenar dengan harga tinggi.

 2. Kebijakan Transfer

Pemilihan pemain atau pelatih tetap saja menjadi masalah dan ini adalah penyakit lama Inter yang sebenarnya sempat sembuh di era Mancini dan Mourinho. Paling dekat bandingkan dengan Milan. Milan berhasil mendatangkan Cassano, Montolivo dan Mexes secara gratis. Lalu cermati Inter yang hanya bisa mendatangkan Rocchi dan Carizzo tanpa uang, beda jauh !

Lihat lagi yang lain. Melepas Eto’o, Pandev dan Balotelli lalu mendatangkan Forlan dan Zarate. Forlan memang hebat namun sudah memasuki fase menurun karena usianya. Disamping itu Forlan juga diposisikan sebagai winger melihat sudah ada Milito dan Pazzini sebagai goal getter Inter, itu kan tidak cermat namanya. Belum lagi Zaratte yang memang sudah kita ketahui semua bermasalah bermain secara tim. Terakhir melepas Lucio dan Maicon dan sebagai gantinya merekrut Jonathan dan Silvestre, anda nilai sendiri saja penampilan mereka berdua.

Zarate, Pembelian Gagal Inter

Pemilihan pelatih yang paling membingungkan. Dalam 2 tahun ini saya memikirkan nama-nama seperti Pellegrini, Diego Simone dan Laurent Blanc yang semuanya itu dalam 2 tahun terakhir masih mungkin untuk di gaet. Bahkan saya juga memikirkan pelatih-pelatih yang mungkin tidak terpikirkan oleh kalian namun punya kualitas seperti Henk ten Cate, Juande Ramos dan Scolari. Saya hanya melihat Leonardo dan Mazzari sebagai pilihan terbaik dari yang terburuk.

3. Perlakuan Kepada Pemain

Ada dua kebalikan yang sangat tidak seimbang di Inter dan ini sudah berlangsung lama. Yang pertama adalah ketergantungan kepada pemain bintang, lalu terakhir jarang sekali pemain muda diberikan kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya jika pada kesempatan pertama bermain tidak memuaskan. Ketergantungan Inter kepada pemain bintang adalah penyakit lama. Vieri, Adriano, Ibrahimovic dan Milito. Nama-nama ini adalah nama-nama pusat kekuatan Inter dimasanya. Semua tahu bagaimana tergantungnya Inter kepada mereka pada masa jaya pemain-pemain tersebut.

Disamping itu Inter juga terkenal tidak telaten membimbing bakat hebat padahal primavera dan pemain muda yang pernah didapat Inter berisi potensi yang sangat besar. Tapi ingat ketika Alvarez, Castaignos dan Coutinho diberikan beberapa kesempatan bermain namun sayangnya mereka tidak bisa memanfaatkan momen tersebut, mereka akan kehilangan kepercayaan di tim.

Untungnya Alvarez mendapatkan berkah dari cideranya pemain-pemain depan Inter dan sukses bermain baik. Jika tidak saya berani bertaruh Alvarez akan masuk daftar jual karena banyak tim lain diluar sana yang menginginkannya. Jika ini terus terjadi, tidak akan pernah kita lihat Inter berjaya karena kejelian membeli pemain muda berbakat dengan harga murah dan memanfaatkan pengembangan dari primavera seperti Barcelona atau Bayern Munich. Itu berarti Inter tidak akan bisa berjaya tanpa jor-joran membeli pemain.

 4. Warisan Mourinho

Maaf, tanpa mengurangi rasa hormat dan cinta saya pada Mourinho, saya rasa dia juga mempunyai efek yang besar atas jebloknya Inter setelah peninggalannya. Ini fakta, Mourinho meninggalkan Inter saat kharismanya masih sangat membekas baik di hati pemain, official, dan fans. Sehingga pelatih lain akan menanggung beban moral yang sangat berat karena Mourinho menjadi patokannya.

Bagaimana bisa pelatih baru mengeluarkan potensinya jika selalu bekerja dalam bayang-bayang Mourinho. Sedikit saja mengaplikasikan idenya dan hasilnya tidak bagus sudah keburu dihujat dan ingin pelatih tersebut menggunakan taktik yg sama seperti Mourinho. Bagaimana bisa pemain menjalankan taktik pelatih jika diotak mereka masih merindukan Mourinho ? Namun itu semua saya akui bersifat natural, tidak teknis, dan akan berakhir seiring waktu. Ditangannya-lah Inter berhasil menggenggam kejayaan tertingginya sepanjang sejarah. Wajar jika dia selalu dirindukan oleh keluarga besar Inter.

Namun secara teknis, efek buruk Mourinho ialah saat dia meninggalkan Inter dengan mewariskan tidak banyak pemain yang masih mempunyai waktu untuk berkembang di masa depan. 29,6 tahun, itulah rata-rata usia pemain Inter saat meraih treble dan sekaligus menjadi tim dengan rata-rata usia tertua yang mampu memenangi Liga Champions sepanjang sejarah. Hanya Balotelli (19), Pandev (27) dan Sneijder (27) sebagai pemain reguler di tim utama Inter yang mempunyai usia dibawah 29 tahun. Dari Julio Cesar hingga Diego Milito semuanya mempunyai usai diatas 29 tahun.

Semuanya rata-rata berada pada usia puncak, menuju senja dan bahkan senja. Skuad warisan Mourinho ini hanya bisa dipakai untuk jangka pendek namun tidak untuk tahun-tahun selanjutnya. Jika Mourinho tidak cepat-cepat meninggalkan Inter itu tidak menjadi masalah, namun beliau langsung pergi setelah memberikan  kejayaan. Tidak heran jika Inter anjlok karena pondasi tim juara ini hanya akan bertahan paling lama 3 tahun.

Tidak gampang menerbitkan pemain muda yang akan dijadikan pondasi dalam waktu yang sesempit itu untuk tetap menguasai dunia. Lihat Barcelona, La Mansia mereka rintis di tahun 80-an akhir, kejayaan MU dimulai dari alumni akademi-nya yang terkenal sebagai angkatan class of 92, ada juga tim-tim dari Jerman dan Belanda yang memiliki akademi yang sangat mereka andalkan sebagai tulang punggung klub sejak jaman dulu kala. Jikalau mungkin Mourinho meninggalkan Inter seperti yang Sir Alex lakukan saat ini dengan meninggalkan tim berisi campuran pemain muda dan berpengalaman, mungkin Inter masih bisa perkasa saat ini. Wallahu’alam.

Kini tim legendaris yang terkenal dengan sebutan La Grande II itu sudah tinggal kenangan yang tidak akan pernah dilupakan oleh sejarah dan Interisti. Loyalis Inter bisa dengan bangga mengenang bahwa “kita pernah memiliki tim yang perkasa dan memenangi segalanya”. Skuad yang tersisa dari kejayaan tersebut hanyalah J. Zanetti, E. Cambisaso, W. Samuel, C. Chivu dan D. Milito, masa mereka juga tidak akan lama lagi. Sudah saatnya  Inter dan loyalisnya melangkah ke depan sebagai era baru. Saya berharap di tangan Walter Mazzari ini Inter kembali menemukan rumahnya, yaitu sebagai tim yang selalu bersaing untuk juara di semua kompetisi. Saya mempunyai firasat baik dengan pelatih ini.

Silahkan jika teman-teman berkenan untuk melakukan analisa sesuai topik ini di form komentar. Terima kasih sudah mampir untuk membaca.

Salam virfast.net

Referensi : inter.it, transfermrkt


Posted

in

by

Tags:

Comments

6 responses to “Menilik Runtuhnya Keperkasaan Inter Pasca Treble”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *